Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia tengah gencar mempersiapkan kebijakan mandatori pencampuran 10% etanol ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin, atau yang dikenal sebagai E10. Rencana ini merupakan bagian dari upaya strategis nasional untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak bumi dan menekan emisi gas buang demi lingkungan yang lebih bersih. Kebijakan ini ditargetkan berlaku penuh pada tahun 2028, setelah melalui serangkaian uji coba dan persiapan yang matang.
Uji BBM campur etanol 10% ini diharapkan dapat memastikan kecocokan dengan kondisi iklim tropis Indonesia. Rencana pencampuran etanol ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Pertamina, setelah persetujuan Presiden Prabowo Subianto.
Wacana ini memicu berbagai diskusi, terutama mengenai kompatibilitasnya dengan beragam jenis kendaraan, termasuk kekhawatiran yang muncul di kalangan pemilik motor 2-tak. Etanol yang bersifat memisahkan oli dan bensin, yang menyebabkan pelumasan mesin gagal total, berpotensi menyebabkan korosi, dan berujung pada kerusakan parah seperti mesin macet atau jebol.
Advertisement
Latar Belakang Penerapan BBM Etanol 10%
Penyebab utama di balik rencana mandatori E10 adalah keinginan kuat pemerintah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor minyak bumi. Saat ini, sekitar 60% konsumsi bensin nasional masih dipenuhi dari impor, yang membebani neraca perdagangan negara.
Selain itu, kebijakan ini juga didorong oleh komitmen untuk menekan emisi gas buang dan mencapai target energi yang lebih bersih serta ramah lingkungan. Etanol, sebagai bahan bakar nabati, dianggap 'carbon neutral' dan dapat mengurangi emisi CO2 secara signifikan. Pengembangan industri bioetanol dari tebu atau singkong juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Advertisement
Peringatan Pakar untuk Pengguna Motor 2-tak
Dari sisi teknis kendaraan, pakar bahan bakar dan pelumas dari ITB, Tri Yuswidjajanto Zaenuri, memberikan pandangannya mengenai potensi dampak negatif etanol, khususnya pada motor 2-tak. Ia menjelaskan bahwa sifat amfifilik etanol dapat mengganggu sistem pelumasan motor 2-tak jika tercampur air, berpotensi menyebabkan pelumasan tidak sempurna dan korosi.
Penambahan persentase etanol dalam bensin hingga 10% sendiri adalah praktik yang didukung oleh regulator di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, seperti dilansir NBCNews. Batasan ini didasarkan pada pertimbangan teknis dan kekhawatiran yang serupa dengan yang sedang diuji di Indonesia.
Secara teknis, sifat kimia etanol menjadikannya 'sangat menarik air' (hydrophilic). Ketika air masuk dan bercampur dengan bahan bakar, hal ini akan meningkatkan risiko korosi pada komponen logam dan dapat merusak mesin. Oleh karena itu, regulator global umumnya menetapkan batas maksimal 10% etanol (E10) untuk mesin mobil biasa, yang kini menjadi acuan dalam pengembangan kebijakan di Indonesia untuk menjaga kompatibilitas kendaraan.
Tahap Uji Coba dan Target Implementasi E10
Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menetapkan target yang jelas untuk implementasi program E10, didahului dengan tahap uji coba menyeluruh. Pada 16 Oktober 2025, Kementerian ESDM menargetkan bahwa kewajiban mandatori E10 untuk BBM jenis bensin akan mulai berlaku pada tahun 2028, dengan fokus awal pada BBM non-subsidi (non-PSO).
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) sedang aktif melakukan uji pasar untuk BBM campuran bioetanol 5% (E5) melalui produk Pertamax Green 95, sebuah langkah awal yang direncanakan berlanjut hingga tahun 2026.
Untuk memastikan kecocokan teknologi, Kementerian ESDM pada 14-15 Oktober 2025, menyatakan akan berkolaborasi dengan industri otomotif untuk menguji kecocokan BBM E10 di iklim tropis. Uji coba ini akan mencakup evaluasi komprehensif terhadap kinerja mesin, potensi korosi, dan ketahanan material seperti karet.
Uji coba ini dilakukan juga dengan mempertimbangkan kekhawatiran publik, termasuk potensi etanol yang dianggap tidak cocok untuk iklim tropis dan sifatnya yang dapat menyebabkan korosi bila bersentuhan dengan material seperti karet.
Advertisement
Restu Presiden dan Dukungan Pertamina
Meski masih menimbulkan perdebatan dari segi dampak BBM etanol 10%, namun di awal Oktober kebijakan mandatori pencampuran 10% etanol (E10) ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) telah memasuki babak baru. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui rencana tersebut, menjadikannya tonggak penting dalam strategi energi nasional.
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, pada 17 Oktober 2025, menegaskan dukungan penuh PT Pertamina (Persero) terhadap kebijakan ini. Dukungan ini sejalan dengan inisiatif transisi energi dan upaya mengurangi emisi.
“Kita akan dukung arahan pemerintah dan kita tahu bahwa di beberapa negara sudah banyak yang mencampur etanol. Ini juga bagian dari inisiatif kita juga mendorong transisi energi dan penciptaan emisi yang lebih rendah, utamanya dari produk BBM.” ujar Simon.
Klarifikasi Etanol pada Pertalite
Seiring dengan bergulirnya wacana E10, muncul isu hoaks di masyarakat yang langsung diklarifikasi oleh Pertamina, serta munculnya perhatian dari pakar terkait dampak teknis.
Pertamina Patra Niaga secara tegas membantah informasi yang beredar di media sosial mengenai pencampuran etanol pada Pertalite (RON 90). Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, memastikan bahwa Pertalite tidak mengandung etanol dan mengimbau masyarakat untuk mewaspadai hoaks.
“Pertamina Patra Niaga memastikan seluruh produk BBM, termasuk Pertalite, diproduksi dan didistribusikan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tidak ada penambahan etanol dalam proses produksi maupun distribusi Pertalite.” tegas Roberth MV Dumatubun.
Advertisement