Laporan Liputan6.com dari Hong Kong: Menjejaki Peta Otomotif Hijau hingga ke Lantau

Dalam beberapa tahun terakhir, Hong Kong berubah dari kota yang identik dengan taksi LPG menjadi salah satu pasar kendaraan listrik (EV) agresif di Asia. Transformasi ini bukan terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi logis dari kebijakan publik yang sangat tegas dan berani.

Menurut Hong Kong Roadmap on Popularisation of Electric Vehicles (2021), pemerintah menetapkan beberapa langkah strategis utama, di antaranya:

• Program One-for-One Replacement, yang memberikan potongan FRT signifikan bagi pemilik mobil lama yang mengonversi ke EV (Transport Department Hong Kong, 2021).
• Elektrifikasi transportasi umum, dengan target ribuan e-taxis dan ratusan e-buses beroperasi sebelum 2030 (Environment & Ecology Bureau Hong Kong, Bus & Taxi Roadmap 2024).

Dampaknya, data pasar dirilis oleh MDR-I Hong Kong EV Market Insights 2025 menunjukkan bahwa populasi EV di Hong Kong tumbuh lebih dari 300% hanya dalam beberapa tahun, yaitu dari sekitar 19.600 unit pada 2021 menjadi lebih dari 93.000 unit pada 2024.

Memasuki 2025, pertumbuhan EV melonjak ke skala yang lebih besar lagi. Menurut Environmental Protection Department (EPD), per September 2025, total EV yang terdaftar di Hong Kong mencapai sekitar 135.000 unit, atau 15% dari seluruh kendaraan di wilayah tersebut.

Mengacu pada dokumen resmi legislatif Hong Kong (LC Paper No. CB(3)542/2025(05)), pangsa kendaraan listrik pribadi baru (e-PC) dari seluruh mobil pribadi baru yang didaftarkan melonjak dari 6,3% pada 2019 menjadi 71,1% pada 2024. Data lengkap hingga Agustus 2025 menunjukkan angka ini berada sekitar 70,6%, atau secara sederhana dapat dikatakan sekitar 7 dari 10 mobil pribadi baru di Hong Kong adalah listrik.

Dominasi ini juga tercermin dari merek-merek yang berseliweran di jalanan Lantau. Menurut BestSellingCarsBlog (Full Year Hong Kong Report 2024), Tesla menjadi merek mobil penumpang terlaris, dengan Model 3 dan Model Y berada di puncak daftar model yang paling banyak dibeli. South China Morning Post (SCMP) juga mencatat bahwa BYD telah menjadi penantang paling serius bagi Tesla, bahkan mengungguli penjualan Tesla pada beberapa periode 2025.

Sementara itu, Toyota Alphard tetap menjadi MPV mewah favorit untuk tamu bisnis dan event besar, termasuk yang terlihat saat gelaran Disney+ Originals Preview 2025.

Cerita berbeda terasa ketika kembali ke Indonesia. Jalan raya kita memang mulai memamerkan banyak merek BYD, Wuling, Chery, dan sederet EV baru, namun skalanya berbeda dibanding Hong Kong. Toyota, Daihatsu, Suzuki, Honda hingga Mitsubishi jauh lebih nampak dan bersahabat dengan sehari-hari Indonesia. Avanza atau Xenia, Brio dan Agya atau sampai Calya-Sigra pun lebih familiar di sini.

Di balik itu, sebenarnya Indonesia mengalami tren yang serupa. Menurut laporan PwC Indonesia, penjualan kendaraan listrik pada kuartal pertama 2025 mencapai 27.616 unit, naik 43,4% dibanding tahun sebelumnya–dengan penjualan BEV melonjak 152,5%. Angka ini disusul data GAIKINDO, yang mencatat lonjakan signifikan 69.146 unit EV (Januari–Oktober 2025). Bahkan pada Oktober 2025, penjualan EV mencapai lebih dari 13.900 unit–rekor tertinggi dalam sejarah penjualan mobil listrik nasional.

Merek-merek dominan pun berbeda dengan Hong Kong. Jika Tesla banyak berkeliaran di Lantau, maka di Indonesia, BYD menduduki takhta. Data GAIKINDO mencatat bahwa BYD M6, BYD Sealion 7, BYD Atto 1, serta Denza D9 menguasai ranking EV terlaris sepanjang 2025. Sementara itu, merek seperti Wuling, Chery, Aion, dan VinFast berada dalam barisan penantang yang mulai mendapat ruang.

Meski tumbuh cepat, pangsa pasar BEV Indonesia baru berada di kisaran 18,8%  dari total penjualan mobil baru. 

Pada akhirnya, perjalanan singkat ke Hong Kong menjadi semacam jendela masa depan–sebuah kilasan tentang bagaimana ekosistem bisa berubah cepat ketika regulasi, infrastruktur, dan perilaku sosial bergerak dalam satu arah. 

Apa yang kami lihat di Lantau bukan sekadar barisan Tesla, BYD, Alphard, atau taksi Toyota; itu adalah bayangan dari kota yang sudah melangkah lebih jauh ke era elektrifikasi. Dan ketika kembali ke Indonesia, kontrasnya tidak untuk dibandingkan, melainkan dipahami: bahwa setiap negara menapaki jalannya sendiri. 

Hong Kong berlari dengan kecepatan kota padat yang serba terhubung, sementara Indonesia melangkah dengan ritme negara besar yang sedang membangun fondasi. 

Namun keduanya bergerak menuju tujuan yang sama–menyongsong masa ketika jalan raya lebih senyap, lebih bersih, dan serba elektrik. Perjalanan ini memberi satu kepastian: masa depan transportasi bukan lagi sekadar wacana, melainkan perubahan yang sudah mulai terasa, baik di tepian Lantau maupun di jalanan Indonesia.